Filsafat Advaita dari Adi Sankaracharya

Adi_Śankara_Śiva_Celas_Uczniowie

Sankara lahir pada tahun 788 Masehi di wilayah bernama Kaladi, di Propinsi Kerala, India Selatan. Sankara, demikian nama pemberian dari kedua orang tuanya, lahir dari pasangan brahmana bernama Sivaguru dan Aryamba. Pasangan ini telah lama menikah, namun tidak dikaruniai anak. Lalu mereka melakukan pemujaan kepada Tuhan agar dikaruniai anak. Dewa Siva muncul dalam mimpi mereka dan memberikan dua pilihan, apakah mereka ingin memiliki satu anak laki-laki yang berusia pendek namun akan menjadi seorang ahli filsafat yang sangat termasur di dunia ataukah memilih dikaruniai banyak anak, namun memiliki kemampuan yang biasa-biasa saja. Pasangan ini memilih yang pertama. Setelah anak tunggal itu lahir, mereka memberi nama Sankara. Ayah Sankara meninggal pada waktu Sankara berusia 3 tahun, sehingga ibunya yang membesarkannya. Sankara sangat cerdas, sehingga Sankara mampu menguasai segala cabang pengetahuan Veda dalam waktu singkat (Suryanto, 2006 : 54).

Banyak peristiwa atau kejadian ajaib yang dikisahkan sehubungan dengan masa muda Sankara. Suatu hari Sankara pergi untuk meminta-minta dan seorang wanita yang sangat miskin memberinya buah amla yang satu-satunya tersisa di rumahnya. Tersentuh oleh sifat kedermawanan dan melihat kemiskinan wanita tersebut, Sankara menyusun doa pujian kepada Dewi Laksmi, di depan pintu rumah wanita itu. Sebagai hasil dari doa itu rumah wanita itu dipenuhi dengan emas. Sejak muda Sankara memiliki keinginan yang kuat untuk memasuki tahap hidup sannyasa (tahap hidup pelepasan terhadap hal-hal duniawi). Untuk mewujudkan kenginannya itu Sankara pergi mengembara untuk mencari seorang guru, Sankaratiba di tepi sungai Narmada di India Tengah. Di sana, ia tiba disebuah ashrama yang dipimpin oleh Govinda Bhagavadpada. Kemudian Sankara diterima sebagai murid oleh Govinda Bhagavadpada yang menganugrahi dengan diksa sebagai sannyasa dengan tingkatan tertinggi, yaitu tahap paramahamsa. Kemudia Govinda Bhagavadpada memerintahkan Sankara untuk menguraikan secara terperinci filsafat Vedanta dengan menyusun ulasan atau tafsiran terhadap Upanisad-upanisad, Brahma Sutra dan Bhagavad-gita. Ulasan-ulasan Sankara sangat sempurna dan mendalam, sehingga dalam waktu singkat nama Sankara menjadi termashur. Orang lalu memberinya gelar Adi yang berarti yang mulia atau yang utama. Sedangkan kata acharya adalah sebutan untuk seorang guru kerohanian yang mengajarkan pengetahuan spiritual melalui contoh dan teladan perilakunya. Sehingga nama Sankara menjadi Adi Sankaracharya.

Adi Sankaracharya hidup selama 32 tahun (788-820 Masehi), dan mengabdikan seluruh hidupnya untuk memperbaharui dan meluruskan kembali ajaran-ajaran Weda. Sumbangan terbesar Adi Sankaracharya adalah keberhasilannya mengalahkan filsafat Buddha yang telah membuat agama Hindu tenggelam pada masa itu. Sankaracharya melakukan debat-debat terbuka dengan para pendeta Buddha, dan berhasil membuktikan kebenaran ajaran Weda. Sankaracharya melakukan perjalanan ke seluruh wilayah India, dan mendirikan ashrama-ashrama di empat penjuru India, yaitu di utara di Badrinath, di selatan di Sringeri, di barat di Dwaraka dan di timur di Puri. Sankaracharya diakui sebagai penjelmaan atau awatara Deva Siva, yang merupakan seorang jenius yang hebat dan mengagumkan, serta menguasai logika. Ia adalah seorang bijak tentang realisasi tertinggi dimana filsatnya telah memberikan hiburan, kedamaian dan pencerahan pada orang-orang yang tak terhitung jumlahnya, baik dari timur maupun barat. Filsafatnya membuat kagum seluruh dunia. Karena itu Sankaracharya diakui sebagai pendiri filsafat Advaita Vedanta. Sankara memiliki 4 orang murid yaitu : Padma-pada, Hastamalaka, Suresvara atau Mandana dan Trotaka ( Maswinara, 1999 : 184).

Sumbangan pemikiran Sankaracharya terhadap filsafat Vedanta dan kebangkitan kembali budaya India secara keseluruhan sangatlah besar. Secara garis besar karya-karya Sankaracharya dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu :

(1) Bhasya atau ulasan terhadap prasthana trayi. Sankaracharya menulis ulasan terhadap Upanisad-upanisad, Brahma Sutra dan Bhagavad-gita. Ketiga jenis kitab ini disebut sebagai tiga karya terpenting dalam filsafat Vedanta (prasthana trayi). Dewasa ini orang yang mempelajari Upanisad dan Brahma Sutra dianggap belum lengkap pengetahuannya kalau belum membaca ulasan Sankaracharya. Gaya bahasa yang digunakannya juga begitu mudah dipahami, namun memiliki makna yang teramat luas dan mendalam.
(2) Prakarana Grantha atau ayat-ayat yang berisi uraian pendahuluan dalam mempelajari sebuah kitab.
(3) Stotra atau kumpulan mantra sebagai doa-doa pujian (Suryanto, 2006 : 57).

Orang pertama yang secara sistematis menguraikan filsafat Advaita adalah Gaudapada, yang merupakan Parama Guru (gurunya guru) dari Sankara. Govinda guru dari Sankara adalah murid dari Gaudapada. Dalam Mandukya Karika-nya, Gaudapada telah menguraikan ajaran inti dari Advaita Vedanta, tetapi Sankaralah yang melahirkan bentuk akhir yang indah dari filsafat Advaita ini dan memberingnya sentuhan akhir dan kesempurnaan. Advaita yang diajarkan oleh Sankara merupakan filsafat yang kaku dan mutlak. Menurut Sankara, apapun juga adalah Brahman, yang merupakan kebersamaan yang mutlak. Semua perbedaan dan kejamakan merupakan khayalan belaka.

Ajaran-ajaran Sankara dapat disimpulkan dalam sloka : Brahma satyam jagan mitya, jivo brahmaiva na aparah, yang artinya bahwa Brahman (Yang Mutlak) sajalah yang nyata, dunia ini tidak nyata dan jiva manusia atau roh pribadi tidak berbeda dengan Brahman. Inilah yang merupakan sari pati dari filsafat Sankara (Masvinara, 1999 : 182).

Menurut Sankara segala sifat atau perwujudan itu tidak nyata atau sementara, yang merupakan hasil dari Avidya atau kegelapan. Sankara menyangkal adanya kenyataan yang lebih dari satu, karena segala sesuatu dialirkan dari satu asas yaitu Brahman (Sumawa dan Raka Krisnu, 1993 : 209).

Pandangan Advaita tentang Brahman (Tuhan)

Menurut Upanisad, Brahman itu tidak dapat diuraikan dengan perantaraan sesuatu yang terbatas, maka itu Brahman dikenal sebagai neti-neti yang artinya bukan ini bukan itu. Dipihak lain Upanisad menyatakan bahwa Brahman memiliki sifat-sifat dan merupakan sumber dari segala sesuatu. Terhadap pernyataan Upanisad ini Sankara memberi penjelasan, bahwa Brahman memiliki dua wujud yaitu para Brahman dan apara Brahman. Para Brahman adalah perwujudan Brahman yang absolute tanpa sifat, tanpa bentuk, tanpa perbedaan dan tanpa pembatasan. Dalam wujud seperti ini Tuhan disebut Nirguna Brahman. Nirguna juga disamakan dengan sunya, niskala, parama Siwa yaitu suatu istilah yang digunakan untuk memahami hakekat Tuhan dalam keadaan-Nya yang semula. Tuhan dalam sifat Nirguna Brahman tidak disertai dengan maya, tanpa sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta. Wujud Para Brahman itu dipandang bukan dari alam manusia tetapi dari Brahman itu sendiri yang tanpa pribadi dan tanpa sifat. Sedangkan Apara Brahman adalah perwujudan Brahman yang relatif dalam artian Brahman memiliki sifat-sifat dan pembatasan. Apara Brahman terjadi untuk manusia dalam pemujaannya terhadap Tuhan. Dalam wujud Apara Brahman Tuhan dipandang sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta beserta isinya, maka itu Tuhan dipandang sebagai Yang Maha Tahu dan Yang Maha Kuasa. Karena dunia dicipta oleh Tuhan maka dunia dianggap benar-benar real atau nyata. Dalam keadaan seperti ini Tuhan juga dinamakan Saguna Brahman atau Iswara yang dipuja atau disembah oleh umat manusia (Sumawa dan Raka Krisnu, 1993 : 210).

Kalau Upanisad menyatakan Brahman dengan istilah neti-neti (bukan ini bukan itu), bukan berarti bahwa Brahman merupakan suatu konsep negative atau sesuatu yang tidak sungguh-sungguh ada (ketiadaan). Brahman bukanlah yang lain. Ia memenuhi segalanya, tak terbatas, tak berubah, ada dengan sendirinya, kesenangan itu sendiri, pengetahuan dan kebahgiaan itu sendiri. Brahman merupakan inti sari dari yang mengetahui. Ia adalah si pengamat (drstha), transenden (turiya) dan saksi bisu (saksi). Brahman tertinggi menurut Sankara tak berpribadi, nirguna (tanpa guna atau atribut), nirakara (tanpa wujud), nirwisesa (tanpa ciri-ciri tertentu), tak berubah, abadi dan akarta (bukan wakil). Ia mengatasi semua keperluan dan keinginan. Ia selamanya merupakan subyek penyaksi dan tak pernah menjadi obyak, karena Ia mengatasi pencapaian indria-indria. Brahman tiada dua-Nya, Esa tanpa yang kedua. Ia tak memiliki yang lain di sisi-Nya. Ia tak memiliki perbedaan, baik yang bersifat luar maupun dalam. Brahman tak dapat digambarkan, karena penggambaran akan menyatakan perbedaan-perbedaan. Brahman tak dapat dibedakan dari sesuatu yang lain dari pada-Nya (Sivananda, 1997 : 227).

Nirguna (tak berpribadi) menjadi Saguna (berpribadi), hanya melalui penyatuan-Nya dengan Maya. Saguna dan Nirguna bukanlah dua Brahman, Nirguna tidak bertentangan atau berlawanan dengan Saguna. Nirguna yang sama tampak sebagai Saguna bagi pemujaan yang saleh dari para pemuja. Ia adalah kebenaran yang sama dari dua titik pandang yang berbeda. Nirguna merupakan Brahman yang lebih tinggi, dipandang dari sudut transcendental (paramarthika), sedang Saguna merupakan Brahman yang lebih rendah, dipandang dari sudut pandang relatif (Masvinara, 1999 :182-183).

Pandangan Advaita tentang Atma (roh)

Bagi Sankara, atma atau roh pribadi hanyalah kenyataan relative. Kepribadiannya berakhir hanya selama ia merupakan subyek terhadap sarana tambahan (upadhi) yang tidak nyata atau kondisi terbatas yang disebabkan oleh awidya (kegelapan). Atma mempersamakan dirinya dengan badan, pikiran dan indria, bila ia dikhayalkan oleh awidya atau kegelapan. Ia berpikir, ia berbuat dan menikmati disebabkan oleh awidya. Sesungguhnya ia tak berbeda dengan Brahman atau yang Mutlak. Upanisad dengan tegas menyatakan : “Tat Twam Asi” Dia adalah engkau. Seperti gelembung-gelembung yang menjadi satu dengan lautan, bila ia pecah, seperti ether dalam periuk yang menjadi satu dengan ether yang universal, demikian pula atma atau roh menjadi satu dengan Brahman, bila ia memperoleh pengetahuan tentang Brahman, yang menghilangkan awidyanya dan membebaskannya dari keterbatasan dan mewujudkan sifat inti sat-cid-ananda. Ia menggabungkan dirinya dengan lautan kebahagiaan. Sungai kehidupan bergabung dengan lautan (Sivananda, 1997 : 228).

Pandangan Advaita tentang Alam

Advaita menyatakan dalam ajarannya hanya Brahman yang ada, yang tunggal, sedangkan Jiwa perorangan adalah Brahman seutuhnya yang menampakkan diri dengan sarana tambahan (upadhi). Alam semesta atau dunia dipandang sebagai suatu penampakan khayal dari Brahman, oleh karena itu keadaannya tidak nyata atau semu. Sankara menerima teori Samkya mengenai proses terjadinya alam semesta, yaitu dari pertemuan antara Purusa dengan Prakrti kemudian akibat dari pertemuan ini muncullah secara berturut-turut budhi, ahamkara, manas, Panca budhindrya, Panca karmendrya, Panca tanmatra, Panca mahabhuta dan gabungan dari panca mahabhuta ini maka muncullah alam semesta beserta isinya. Purusa sama dengan Brahman dan Prakrti sama dengan Maya. Preses terjadinya alam semesta kelihatannya nyata, sesungguhnya semua itu adalah semu. Hanya Brahman yang disebut sat (nyata). Di luar Brahman keadaannya adalah asat, artinya tidak ada sesuatu di luar Brahman. Namun di dalam pengalaman hidup sehari hari dunia kelihatannya sebagai yang benar-benar nyata, yang dapat dilihat dan diamati. Sebenarnya alam yang kita lihat ini adalah sebagai sesuatu penampakan khayal dari Brahman, seperti seutas tali yang tampak seperti ular (Sumawa dan Raka Krisnu, 1993 : 209).

Alam semesta menurut Sankara merupakan kenyataan yang relatif, sedangkan Brahman merupakan kenyataan mutlak. Alam merupakan hasil dari Maya atau Awidya. Brahman yang tak berubah tampak sebagai alam yang berubah melalui Maya. Maya adalah daya misterius yang tak dapat digambarkan dari Tuhan, menyembunyikan yang nyata dan mewujudkan dirinya sebagai tidak nyata.
Maya itu tidak nyata, karena ia lenyap apabila kita mencapai pengetahuan dari yang abadi (Tuhan). Tumpang tindih dari alam pada Brahman disebabkan oleh awidya atau kebodohan (Sivananda, 1997 : 228).

Oleh: Wirabadra Prabhu

Tuhan, Sang Maha Penipu

Sadarkah anda bahwa Tuhan yang anda puja
adalah raja-diraja-nya penipu? Beliaulah
penipu yang ulung, yang tidak pernah gagal.
Beliaulah Sang Maha Penipu.
Betulkah Tuhan adalah Maha Penipu?
Tentunya orang yang membaca judul dan
kalimat diatas akan memiliki dua jenis
pandangan berbeda terhadap saya.
Pandangan pertama mungkin bernada
negatif yang menganggap saya menghina
dan menjelek-jelekkan Tuhan.

Tapi orang ke dua mungkin akan berpandangan jauh berbeda dengan pandangan pertama, yaitu
pandangan yang positif. Orang kedua ini
mungkin akan mengatakan bahwa saya
sedang mengagung-agungkan Tuhan.
Jika anggapan pertama yang muncul dalam
benak anda untuk pertama kalinya yang
mengatakan bahwa saya menghina Tuhan,
maka saya katakan pengetahuan anda masih
perlu di upgrade. Anda masih perlu banyak
belajar dan membaca tentang ketuhanan dan
keinsafan diri. Tentunya dengan berkata
seperti ini saya tidak menganggap bahwa
diri saya sudah hebat. Tidak, saya sama
sekali tidak hebat dan pintar, hanya saja
dalam hal ini saya ada setaraf di atas anda.
Tapi jika dengan membaca judul di atas
pikiran anda sudah langsung mengarahkan
anda ke hal yang positif bahwa saya sedang
mengagungkan Tuhan, maka saya yakin
anda adalah orang yang sangat berdedikasi,
orang yang sudah dewasa secara spiritual.

Tuhan sendiri menyatakan “Beliau adalah
perjudian kamu penipu” dalam Bhagavad
Gita 10.36;
dyutam chalayatam asmi tejas tejasvinam
aham
jayo ‘smi vyavasayo ‘smi sattvam-
sattvavatam aham
Artinya;
Aku adalah perjudian kaum penipu, Aku
adalah kemuliaan segala sesuatu yang mulia,
Aku adalah kejayaan, Aku adalah
petualangan dan Aku adalah kekuatan orang
yang kuat.

Penggalan sloka Bhagavad Gita diatas
adalah salah satu bagian dari sloka-sloka
bab 10 mengenai kehebatan Tuhan Yang
Maha Mutlak. Dalam bab ini Sri Krishna
menyatakan bahwa beliau adalah sumber dari
segala sumber, yang paling berkuasa dari
para penguasa, yang paling indah dari segala
yang indah dan juga termasuk yang paling
buruk diantara yang buruk sebagaimana
yang beliau sabdakan dalam

Bhagavad Gita 10.36 ini.
Di dunia ini terdapat berbagai jenis teknik
tipu menipu, modus penipuan selalu
berkembang seiring dengan perkembangan
jaman, sehingga tidak heran jika aparat
penegak hukum kita selalu ketinggalan satu
langkah dari si tukang tipu itu sendiri.
Nah bagaimana halnya dengan Tuhan?
Tuhan dapat menipu dengan cara yang lebih
hebat dari pada penipu manapun. Kalau
Tuhan mau menipu seseorang, maka tidak
seorangpun yang mampu melebihi Tuhan
dalam penipuannya, oleh karena itu Tuhan
tidak pernah dapat ditipu oleh siapapun
juga.

Bhagavad Gita 10.4-5 mengatakan;
Buddir jnanam asammohah ksama satyam
damah samah
Sukham dukham bhavo ‘bhavo bhayam
cabhayam eva ca
Ahimsa samata tustis tapo danam yaso
‘yasah
Bhavanti bhava bhutanam matta eva prthag-
vidhah
Artinya;
“Kecerdasan, pengetahuan, kebebasan dari
keragu-raguan dan khayalan, pengampunan,
kejujuran, pengendalian indria-indria,
pengendalian pikiran, kebahagiaan dan
dukacita, kelahiran, kematian, rasa takut,
kebebasan dari rasa takut, tidak melakukan
kekerasan, keseimbangan sikap, kepuasan,
kesederhanaan, kedermawanan, kemasyuran
dan penghinaan, berbagai sifat tersebut
yang dimiliki oleh para mahluk hidup semua
diciptakan oleh Aku sendiri”

Bhagavad Gita 10.8;
aham sarvasya prabhavo mattah sarvam
pravartate
iti matva bhajante mam budha bhava-
samanvitah
Artinya;
“Aku adalah sumber segala dunia rohani dan
segala dunia material. Segala sesuatu berasal
dari-Ku. Orang bijaksana yang mengetahui
kenyataan ini secara sempurna menekuni
bhakti kepada-Ku dan menyembah-Ku
dengan sepenuh hatinya”

Tuhan adalah sumber dari segala sumber dan
sebab dari segala sebab, oleh karena itu
Tuhan adalah Maha segalanya. Tuhan Maha
Besar dan juga Maha Kecil, Tuhan Maha
Menawan dan juga Maha Buruk Rupa, tiada
satu kehebatanpun yang dapat kita lampaui
dari Beliau. Sehingga dengan menyebut
Tuhan Maha Kecil, Maha Buruk, Maha Kotor,
Maha Jahat dan juga Maha Penipu adalah hal
yang benar dan wajar, tetapi yang tidak
wajar itu adalah mindset kita sebagai
manusia. Otak kita selalu mengarahkan
bahwa Tuhan hanya berkaitan dengan yang
baik-baik saja, Otak kita mengarahkan
bahwa warna putih identik dengan suci dan
karena Tuhan itu suci maka kita
sembahyang dengan pakaian putih. Pikiran
kita mengatakan bahwa toilet itu kotor,
sehingga kita beranggapan bahwa Tuhan
tidak ada di Toilet. Apa benar Tuhan tidak
ada di toilet? Bukankah Tuhan Maha
Segalanya? Bukankah Tuhan Mada Ada?
Kalau demikian apa masalahnya kalau Tuhan
ada di toilet? Bukankah kalau Tuhan tidak
ada di toilet maka kuman-kuman dan jasat
renik lainnya tidak akan dapat hidup karena
segala sumber hidup berasal dari-Nya? Anda
boleh jijik dengan toilet yang kotor, tapi
jasat renik yang menggantungkan hidupnya
di sana mungkin menganggap toilet itu
“sorga” dan memandang piring anda yang
bersih sebagai “neraka” bagi mereka.
Oleh karena itu, jawabannya kembali lagi ke
awal “Jangan samakan mindset anda dengan
mindset Tuhan”